Perhatian pemerintah kepada guru dewasa ini sudah terbilang baik jika dibandingkan sepuluh, dua puluh tahun lalu. Program-program untuk mensejahterakan para guru pun semakin gencar dilakukan. Kebijakan-kebijakan yang pro terhadap guru terus digenjot dan diupayakan. Hal ini tentu saja demi menjamin meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang ujun tombaknya adalah melalui dunia pendidikan. Guru adalah faktor penting penentu suksesnya pendidikan di negara kita. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa, jika permasalahan dan persoalan guru selama ini dapat teratasi maka, sesungguhnya 90% permasalahan pendidikan kita telah teratasi.
Salah satu bentuk dari keberpihakan pemerintah terhadap guru adalah lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan titindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan. Dengan diberlakukannya sertifikasi terhadap para guru ini, tujuan terpentingnya adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai agen pembelajaran demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan program sertfikasi ini pula diharapkan akan terjadi peningkatan dalam proses dan mutu hasil pendidikan. Sehingga secara bertahap akan mamapu meningkatkan martabat dan profesionalitas guru pada akhirnya.
Guru yang layak dan telah melalui program sertifikasi ini akan mendapatkan lisensi keprofesionalan dengan diberikan sertifikat pendidik kepadanya. Untuk mendapatkan predikat guru bersertifikasi diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru bersangkutan. Salah satunya adalah harus berkualifikasi pendidkan minimal D4/S1 (Sarjana). Adapun permasalahan guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi S1 ini dari tahun ke tahun semakin menumpuk dikarenakan pembiaran bertahun-tahun sehingga menjadi permasalahan yang cukup rumit. Alasan mereka tidak memenuhi kualifikasi S1 diantaranya adalah karena faktor usia (sudah tua) dan hendak pensiun. Meskipun dalam kenyataannya mereka baru memasuki masa pensiunnya rata-rata masih lama yaitu lebih kurang 10 tahunan lagi.
Di satu sisi, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan amanat undang-undang guru dan dosen, agar seluruh guru harus disertifikasi. Namun, di sisi lain terkendala oleh persyaratan teknis di lapangan seperti belum terpenuhinya kualifikasi pendidikan guru yang harus S1. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Mendikbud berpendapat bahwa harus ada kerja sama dengan pemerintah daerah agar proses sertifikasi terhadap guru ini menjadi lebih mudah. “Kami kerja sama dengan Universitas Terbuka, di mana para guru bisa mengambil program S1 di sana. Kami pun sudah mulai ini dengan Pemda Maluku,” kata Anies.
Jika berkaca dari kenyataan ini, wajar saja jika Anies mengatakan bahwa mayoritas guru yang belum bersertifikasi ini dikarenakan sikap mereka sendiri yang belum/tidak bisa memenuhi syarat. Pernyataan ini ditegaskan Mendikbud menanggapi tudingan dari ketua Umum PGRI bahwa ppemerintah "Gagal" mewujudkan guru profesional berdasakan amanat UU Guru dan Dosen Pasal 82 ayat 2. Anies menjelaskan bahwa aturan tersebut hanya berlaku bagi guru yang diangkat sebelum tahun 2005. “jumlahnya sekitar 1,7 juta orang guru. Dari jumlah itu, memang ada yang belum (disertifikasi). Mayoritas belum bisa disertifikasi karena belum lulus S1. Kalau sudah begitu, salahnya di siapa, ya?” tutur Anies seusai melantik pejabat eselon I di Gedung Kemendikbud, Jakarta Selatan, Rabu (17/6).
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Polemik Sertifikasi Guru, Siapa yang Salah?"
Post a Comment